Wednesday, September 19, 2007

Bagaimana Kita Menegakkan Daulah Islam?

SALAFIYYUN DAN DAULAH ISLAM
Oleh: Syaikh Salim bin 'Ied Al-Hilali hafizhahullahu
Pertanyaan.
Syaikh Salim bin 'Ied Al-Hilali ditanya : Bagaimana sikap kita dalam menghadapi syubhat yang dilontarkan kepada As-Salafiyyun, bahwa As-Salafiyyun tidak peduli dengan masalah Iqamatud Daulah atau Khilafah Al-Islamiyah (Mendirikan atau membangun negara dan kekuasaan Islam)?
Jawaban
Alhamdulillah, wash-shalatu was-salamu ‘ala Rasulillah, wa ‘ala alihi wa ash habihi wa man walah. Sebagaimana yang tadi telah disebutkan oleh Syaikh Ali Hafizhahullah bahwa syubhat-syubhat itu banyak sekali [1]. Sehingga menjawabnya pun membutuhkan waktu yang panjang. Oleh karena itu beliau meringkasnya. Dan apa yang telah beliau sampaikan sebenarnya sudah cukup. Namun, tatkala permasalahan yang ditanyakan berkaitan dengan masalah kenegaraan dan pemerintahan, maka permasalahan ini merupakan permasalahan paling besar, dan merupakan sebab terbesar yang telah membangkitkan dan mengobarkan para pemuda untuk sangat mudah melakukan takfir (pengkafiran) dan pemberontakan atau demo-demo, dan bahkan perbuatan anarkis. Sebagian permasalahan ini telah dijelaskan oleh Syaikh Ali Hafizhahullah dan saya akan menjelaskan dari sisi lain, yang kaitannya lebih erat dengan permasalahan politik atau kenegaraan secara ringkas pula, insya Allah. Pertama kali yang semestinya kita pahami adalah, bahwa negara yang penduduknya kaum Muslimin, di dalamnya dikumandangkan adzan, ditegakkan shalat, mayoritas keadaan kaum muslimin berhukum dengan syari’at Islam, maka negara ini adalah negara Islam. Karena perbedaan antara negara Islam dengan negara kafir, sebagaimana telah disebutkan oleh Al-Muzani dalam kitab Ushulus Sunnah, adalah dikumandangkan adzan dan ditegakkan shalat di dalamnya. Oleh karena itu, terhadap orang-orang yang mengatakan “kalian tidak peduli dengan iqamatud Daulatil Islamiyah (mendirikan negara Islam)”, maka kita katakan kepada mereka sesungguhnya negara-negara Islam sudah ada dan berdiri! Namun yang menjadi permasalahan, mayoritas hukum-hukum yang kini diterapkan di sebagian negara-negara Islam, baik dalam bidang perekonomian, politik, pendidikan, kebudayaan dan lain-lainnya, hampir secara keseluruhan merupakan hukum-hukum buatan manusia, hukum-hukum import (yang di datangkan dari negara-negara kafir,-red). Para ulama telah menjelaskan secara terperinci tentang permasalahan ini [2]. Yakni, tentang berhukum dengan hukum-hukum atau undang-undang buatan manusia. Para ulama menerangkan, bahwa seseorang yang berhukum dengan hukum selain hukum Allah, berarti ia telah melakukan sebuah kekafiran yang kecil, yang tidak mengeluarkannya dari agama Islam. Akan tetapi, mungkin saja kekafiran kecil yang kecil ini mengeluarkannya kepada kekafiran yang besar seperti yang telah saya terangkan secara rinci di Masjid Istiqlal kemarin [3]. Yaitu apabila ia menganggap dan berkeyakinan halal atau bolehnya berhukum dengan selain hukum Allah ; atau ia berkata, saya tidak merasa wajib atau harus berhukum dengan hukum Allah ; atau berkata berhukum dengan selain hukum Allah lebih baik daripada berhukum dengan hukum Allah ; atau berkata, hukum-hukum dan undang-undang lainnya sama saja dengan hukum Allah ; atau berkata, saya bebas (terserah saya mau berhukum dengan hukum Allah atau selainnya, sama saja) ; dan perkataan lainnya yang senada dengannya. Maka, berarti ia –dengan kesepakatan ulama Ahlus Sunnah- telah melakukan kekafiran yang besar (keluar dari Islam, red). Wal ‘iyadzu billahi tabaraka wa ta’ala. Berarti, selama negara-negara Islam kini sudah ada dan tegak, yang dituntut untuk kita lakukan adalah memperbaiki keadaan negara-negara Islam ini, dengan metode yang telah diajarkan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; baik dalam cara berdakwah, pembinaan umat berdasarkan metode at-tasfiyah wat-tarbiyah (memurnikan umat dari kesyirikan, bid’ah dan maksiat, kemudian membina membimbing mereka memahami Islam dengan baik dan benar), bukan dengan cara-cara yang saat ini gencar dilakukan oleh sebagian golongan-golongan atau partai-partai. Seperti melakukan kudeta-kudeta militer, pemberontakan-pemberontakan, aksi-aksi mogok, atau bahkan lebih ironis lagi mengadakan aliansi dengan negara-negara kafir, demi menggulingkan pemerintah negara Islam, atau usaha-usaha lainnya. Ketahuilah ! Justru semua ini semakin menambah perpecahan dan kelemahan kaum muslimin di banyak negara-negara Islam! Jadi, yang kita lakukan ialah mengadakan perbaikan-perbaikan pada pemerintah negara-negara Islam saat ini. Kita pun berusaha menyatukan seluruh negara-negara Islam, agar mereka saling bekerjasama, bersatu, menolong antara yang satu dengan yang lainnya ; dan akhirnya mereka seperti firman Allah berikut.“Artinya : Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain…” [At-Taubah : 71] Hendaknya kita selalu ingat dan tidak lupa bahwa orang-orang kafir, walaupun kekafiran mereka berbeda-beda, negara mereka pun berbeda-beda, namun hendaknya kita tetap waspada dan siaga bahwasanya mereka senantiasa melakukan penyatuan-penyatuan yang terorganisir sesama mereka, baik dalam masalah politik, perekonomian, ilmu pengetahuan, dan lain-lain. Karena (merekapun tahu) bahwa bersatu merupakan kekuatan. Oleh karena itu, di antara tujuan kita (dalam mengadakan perbaikan-perbaikan di segala bidang kehidupan) adalah seperti Syaikh kami (Al-Albani rahimahullah) selalu menuliskan di dalam buku-buku beliau, berupaya menuju kehidupan yang Islami. Tentu saja, beliau tidak bermaksud bahwa kehidupan Islami saat ini tidak ada sama sekali! Akan tetapi yang beliau maksud, bahwa kehidupan Islami yang ada saat ini masih banyak kekurangan dan masih jauh dari agama Allah. Maka dari itu, kita harus berdakwah kepada manusia dan kaum muslimin seluruhnya, menuju penegakkan syari’at Allah dalam seluruh bidang kehidupan mereka ; baik dalam bidang politik, perekonmian, ataupun ilmu pengetahuan. Demikian pula dalam hubungan nasional maupun internasional, baik bersama kawan atau pun lawan. Inilah sekilas dan pandangan kita (tentang bernegara) secara umum dan singkat. Metode kita ialah melakukan perbaikan-perbaikan dengan cara berdakwah mengajak manusia kepada Allah, memurnikan mereka dari polusi kesyirikan, bid’ah, dan maksiat, lalu membimbing dan membina mereka kepada pemahaman dan praktek Islam yang baik dan benar. Seperti firman Allah.“Artinya : Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik….” [An-Nahl : 125] Kita juga jangan sampai melupakan, wahai saudara-saudaraku, bahwa tegaknya daulah Islamiyah merupakan pemberian dan karunia Allah semata bagi hamba-hambaNya yang shalih dan bertakwa. Jika kita beramal, juga orang-orang shalih beramal, maka sesungguhnya kekuatan, kekuasaan dan kejayaan Islam merupakan janji Allah. Allah berfirman.“Artinya : Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih, bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridahiNya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentosa, mereka tetap menyembahKu dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun denganKu…”[An-Nur : 55] Dan kami berikan kabar gembira kepada anda semua, bahwa masa depan adalah milik Islam yang benar dan lurus, yang berada di atas manhaj As-Salafush Shalih. Manhaj yang diberkahi Allah, yang mengikat menusia agar senantiasa berhubungan dengan Allah dan melaksanakan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang akan membawa mereka semua kepada keimanan, keamanan dan kedamaian.Kami memohon kepada Allah agar memberikan taufiqNya selalu kepada setiap muslim.
[Ceramah Syaikh Salim bin 'Ied Al-Hilali di Jakarta Islamic Center, Ahad 23 Muharram 1428 H/11 Februari 2007 M]
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun XI/1428H/2007. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
__________
Foote Note
[1]. Lihat majalah As-Sunah, liputan edisi 01/XI/1428H/1427M, rubrik Manhaj, Salafiyyun Menepis Tuduhan Dusta, ceramah Fadhilatusy-Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari –haizhahumullahu, di masjid Islamic center Jakarta, hari ahad 23 Muharam 1428H/11 Februari 2007M
[2]. Lihat risalah ilmiah Syaikh Salim bin 'Ied Al-Hilali yang menjelaskan masalah ini secara gamblang dan terperinci, Qurratu Uyun fi Tash-hihi Tafsiri Abdillah Ibni Abbas Li Qaulihi Ta’ala : Wa Man lamYahkum bi Ma Anzalalluhu fa Ula-ika Hummul Kafirun.
[3]. Ceramah di masjid Al-Istiqlal Jakarta, hari Sabtu, 22 Muharram 1428H/10 Februari 2007. Pembahasan yang dimaksud kami angkat pada edisi ini dalam satu rangkaian rubrik Manhaj. Lihat jawaban Fadhilatusy Syaikh Salim bin Id Al-Hilali hafizhahullahu tentang Kufrun Duna kufrin.
softcopy dari: almanhaj.or.id

Tuesday, September 11, 2007

Agama Penebar Kasih

Dalam dekade terakhir ini, kita sering mendengar aksi sosial yang dilakukan oleh “Green Peace”, sebuah organisasi internasional yang berantusias dan berjuang dalam menjaga dan memperhatikan hewan-hewan, baik yang berpopulasi tinggi, apalagi langka. Hal ini memberikan opini kepada masyarakat bahwa hanya orang-orang kafir itulah yang memiliki perhatian kepada hewan dan lingkungan alam sekitar kita. Padahal tidaklah demikian, bahkan Islam adalah agama yang syamil (mencakup segala segi) dan kamil (sempurna) dalam syari’at dan dan aturannya.

Andaikan kita mau mempelajari Al-Quran, sunnah, dan atsar para salaf, niscaya kita akan tercengang, “Oh, ternyata agamaku lebih sempurna dalam mengatur segala urusan”, termasuk di antaranya, perhatian Islam terhadap hewan dan lingkungan.
Allah -Ta’ala- berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. (QS. Al-Anbiya: 107)
Allah -Ta’ala- berfirman,
حَتَّى إِذَا جَاءَ أَمْرُنَا وَفَارَ التَّنُّورُ قُلْنَا احْمِلْ فِيهَا مِنْ كُلٍّ زَوْجَيْنِ اثْنَيْنِ وَأَهْلَكَ إِلَّا مَنْ سَبَقَ عَلَيْهِ الْقَوْلُ وَمَنْ ءَامَنَ وَمَا ءَامَنَ مَعَهُ إِلَّا قَلِيلٌ
“Hingga apabila perintah Kami datang dan dapur telah memancarkan air, Kami berfirman, “Muatkanlah ke dalam bahtera itu dari masing-masing binatang sepasang (jantan dan betina) dan keluargamu, kecuali orang yang telah terdahulu ketetapan terhadapnya dan (muatkan pula) orang-orang yang beriman”. Dan tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit”. (QS. Hud: 40)
Al-Hafizh Ibnu Katsir-rahimahullah- berkata, “Ketika itulah Allah memerintahkan Nuh -’alaihis salam- untuk membawa bersamanya dalam bahtera, masing-masing dua pasang dari berbagai jenis makhluk yang memiliki ruh. Konon kabarnya, selain itu juga berupa tumbuhan, baik jantan maupun betina”. [Lihat Tafsir Al-Quran Al-Azhim (2/580)]
Demikianlah syari’at yang dibawa oleh Nabi Nuh -’alaihis salam-, maka bagaimana lagi dengan syari’at Nabi Muhammad -Shallallahu ‘alaihi wasallam- yang membawa agama dan syari’at yang mencakup segala segi dan lebih sempurna. Sebagai bukti hal ini, berikut ini kami bawakan beberapa hadits dan atsar yang memerintahkan untuk menyayangi dan memperhatikan hewan.
Abdullah bin Ja’far -radhiyallahu ‘anhu- berkata, “Pada suatu hari Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah memboncengku dibelakangnya, kemudian beliau membisikkan tentang sesuatu yang tidak akan kuceritakan kepada seseorang di antara manusia. Sesuatu yang paling beliau senangi untuk dijadikan pelindung untuk buang hajatnya adalah gundukan tanah atau kumpulan batang kurma. lalu beliau masuk kedalam kebun laki-laki Anshar. Tiba tiba ada seekor onta. Tatkala Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melihatnya, maka onta itu merintih dan bercucuran air matanya. Lalu Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- mendatanginya seraya mengusap dari perutnya sampai ke punuknya dan tulang telinganya, maka tenanglah onta itu. Kemudian beliau bersabda, “Siapakah pemilik onta ini, Onta ini milik siapa?” Lalu datanglah seorang pemuda Anshar seraya berkata, “Onta itu milikku, wahai Rasulullah”.
Maka Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
أَفَلَا تَتَّقِى اللهَ فِيْ هَذِهِ الْبَهِيْمَةِ الَّتِى مَلَكَ اللهُ إِيَّاهَا
“Tidakkah engkau bertakwa kepada Allah dalam binatang ini, yang telah dijadikan sebagai milikmu oleh Allah, karena ia (binatang ini) telah mengadu kepadaku bahwa engkau telah membuatnya letih dan lapar”. [HR. Abu Dawud dalam As-Sunan (1/400), Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (2/99-100), Ahmad dalam Al-Musnad (1/204-205), Abu Ya’la dalam Al-Musnad (3/8/1), Al-Baihaqiy dalam Ad-Dala’il (6/26), dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqa (9/28/1). Lihat Ash-Shahihah (20)]
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
ا ِ رْكَبُوْا هَذِهِ الدَّوَابَّ سَالَِمَةً وايتدعوها سَالِمَةً وَلَا تَتَّخِذُوْهَا كَرَاسِي
“Tunggangilah hewan ini dalam keadaan ia sehat. Biarkanlah ia dalam keadaam sehat, dan jangan engkau menjadikannya sebagai kursi”. [HR. Ahmad dalam Al-Musnad (3/440 dan 4/234), Ibnu Hibban (2002-Mawarid), Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (3/444 dan 2/100), Al-Baihaqiy (5/225), dan lainnya. Lihat As-Shahihah (21)]
Di antara bentuk kasih sayang Islam, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- memerintahkan kita agar jangan menjadikan binatang seperti mimbar.
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
إِيَّاكُمْ أَنْ تَتَّخِذُوْا ظُهُوْرَ دَوَابِّكُمْ مَنَابِرَ فَإِنَّ اللهَ تَعَالَى إِنَّمَا سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتَبْلُغَكُمْ إِلَى بَلَدٍ لَمْ تَكُوْنُوْا بَالِغِيْهِ إِلَّا بِشِقِّ الْأَنْفُسِ
“Hati-hatilah, jangan kalian menjadikan punggung hewan tunggangan kalian sebagai mimbar, karena Allah -Ta’ala- hanya menundukkannya untuk kalian agar Allah menyampaikan kalian ke suatu negeri yang belum pernah kalian capai, kecuali dengan susah payah”. [HR. Abu Dawud dalam As-Sunan (2567), Al-Baihaqiy dalam As-Sunan (5/255), dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyqa (19/85/1). Lihat Ash-Shahihah (22)]
Sahl bin Al-Hanzhaliyyah berkata, “Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah melewati seekor onta yang kempis perutnya (lapar) seraya bersabda,
اِتَّقُوْا اللهَ فِيْ هَذِهِ الْبَهَائِمِ المعجمة فَارْكَبُوْهَا صَالِحَةً وَكُلُوْهَا صَالِحَةً
“Bertakwalah kalian atas binatang-binatang yang bisu ini, maka tunggangilah ia dalam keadan ia baik, dan lepaskanlah dalam kondisi yang baik”. [HR. Abu Dawud dalam As-Sunan (2548). Lihat Ash-Shahihah (23)]
Sebagai bentuk kasih sayang terhadap binatang, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- murka ketika melihat ada seseorang yang mengasah pisaunya di depan mata hewan sembelihannya.
Ibnu Abbas berkata, “Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- pernah melewati seorang laki-laki yang meletakkan kakinya pada pipi kambingnya, sedang ia mengasah belatinya dan kambing itu juga memperhatikannya dengan kedua matanya. Maka beliau -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
أَفَلَا قَبْلَ هَذَا ؟ ! أَتُرِيْدُ أَنْ تُمِيْتَهَا مَوْتَتَيْنِ
“Mengapa engkau tidak mengasahnya sebelum ini? Apakah engkau mau membunuhnya dua kali?!” [HR. Ath-Thabraniy dalam Al-Kabir (8/140/1) dan Al-Baihaqiy dalam As-Sunan (9/280). Lihat Ash-Shohihah (24)]
Demikian pula seseorang dalam Islam dilarang membuat binatang jadi risau, kelabakan, ketakutan, dan sedih, seperti; memisahkan anaknya yang masih kecil dari induknya atau menyakiti dan mempermainkannya.
Abdullah bin Mas’ud -radhiyallahu ‘anhu- berkata, “Dulu kami bersama Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- di dalam suatu safar. Kemudian beliau pergi untuk suatu hajat. Kami pun melihat dua ekor burung bersama dua ekor anaknya. Kemudian kami ambil dua ekor anaknya tersebut. Setelah itu datanglah Nabi seraya berssabda,
مَنْ فَجَعَ هَذِهِ بِوَلَدِهَا ؟ رُدُّوْا وَلَدَهَا إِلَيْهَا
“Siapakah yang mengagetkan burung ini dengan (mengambil) anaknya? Kembalikan anaknya kepadanya”. [HR. Al-Bukhary dalam Al-Adab Al- Mufrad (382) dan Abu Dawud dalam As-Sunan (2/146). Lihat Ash-Shahihah (25)]
Sebagian manusia tidak menyayangi binatang, sehingga hewan, mereka tendang bagaikan bola, disiram air panas seperti tembok, dikencingi seperti toilet, dibuang layaknya sampah. Padahal perbuatan ini tercela, karena menyelisihi adab-adab dalam Islam yang mulia.
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
وَالشَّاةُ اِنْ رَحِمْتَهَا رَحِمَكَ اللهُ
“Sesungguhnya kambing, apabila engkau sayangi, maka Allah Akan menyayangimu.’ [HR. Al-Bukhary dalam Al-Adab Al-Mufrad (373), Ath-Thabraniy dalam Ash-Shagir (hal. 6) dan selainnya. Lihat Shahih Adab (hal. 132)]
Bahkan seekor binatang yang lebih rendah dan kecil dibandingkan dengan kambing, seperti burung pipit pun harus disayangi.
Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
مَنْ رَحِمَ وَلَوْ ذَبِيْحَةَ عُصْفُوْرٍ رَحِمَهُ اللهًُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa yang menyayangi, walaupun sembelihan burung pipit, maka Allah akan menyayangi orang itu di hari kiamat” . [HR. Al-Bukhariy dalam Al-Adab Al-Mufrad (371), Tamam Ar-Raziy dalam Al-Fawaid (2/194/1), dan Al-Baihaqiy dalam Asy-Syu’ab (3/3/145/1). Lihat Ash-Shahihah (27)]
Menyayangi binatang merupakan perkara yang memiliki keutamaan yang tinggi. Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
بَيْنَمَا كَلْبٌ يَطِيْفُ بِرَكِيَّةٍ قَدْ كَادَ يَقْتُلُهُ الْعَطَشُ ؛ إِذْ رَأَتْهُ بَغْيٌ مِنْ بَغَايَا بَنِيْ إِسْرَائِيْل فَنَزَعَتْ مُوْقَهَا فَاسْتَقَتْ لَهُ بِهِ فَسَقَتْهُ إِيَّاهُ فَغَفَرَ لَهَا بِهِ
“Tatkala ada seekor anjing yang mengelilingi sebuah sumur, ia hamper-hampir mati karena haus. Tiba-tiba ia dilihat oleh seorang wanita pelacur di antara pelacur-pelacur Bani Israil. Kemudian wanita itu melepaskan selopnya seraya mengambilkan air untuk anjing itu dengan menggunakan selop itu. Ia pun memberi minum kepada anjing itu. Lantaran itu Allah mengampuni dosa wanita itu”. [HR. Al-Bukhary dalam Ash-Shahih (3278) dan Muslim dalam Ash-Shahih (2245). Lihat Ash-Shahihah (30) ]
Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaliy-hafizhahullah- berkata saat menjelaskan faedah- faedah hadits ini, “Di dalam hadits ini, terdapat anjuran untuk berbuat baik kepada hewan,(yaitu selama kita tidak diperintahkan untuk membunuhnya); juga terdapat keutamaan memberi minum. Luasnya rahmat Allah -Ta’ala- sampai meliputi hewan, karena termasuk makhluk-Nya”. [Lihat Bahjah An-Nazhirin (1/206-207)]
Sekali lagi perhatikan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wasallam- menganjurkan sahabat dan ummatnya untuk menyayangi hewan. Beliau -Shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,
“Takkala ada seorang lelaki berjalan di sebuah jalan tiba-tiba ia sangat kehausan. Lalu ia menemukan sumur dan iapun turun sambil mengambil minum, lalu keluar. Tiba-tiba ada seekor anjing yang menjulurkan lidahnya sambil menjilat tanah karena haus. Laki-laki itu berkata, “Sungguh anjing ini merasakan haus sebagaimana yang aku rasakan”, kemudian iapun ke sumur seraya memenuhi selopnya dengan air. Dia menggigit selopnya sehingga ia bisa naik, iapun memberi minum anjing itu. Maka Allah bersyukur kepada lelaki itu dan mengampuni dosanya”. Mereka para (sahabat) bertannya, “Wahai Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- Apakah benar kami mendapatkan pahala karena binatang?” Beliau menjawab, “Dalam setiap sesuatu yang memiliki hati yang basah (makhluk hidup) terdapat pahala”. [HR. Al-Bukhariy dalam Shahih-nya (2369, 2466, dan 6009), Abu Dawud dalam Sunan-nya (2550), dan Malik dalam Al-Muwaththa’ (hal. 929-930)]

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 21 Tahun I
soft copy dari: http://almakassari.com

Wednesday, September 5, 2007

Dari Sebungkus Gado-Gado sampai Segenggam Handphone

Sehabis pulang dari kampus motor Supra X biru ane melaju kencang bak seorang pembalap. Namun tak seperti biasanya, kali ini sudah pulang sebelum malam alias pulang ketika waktu masih sore sehabis ashar. Seketika tinggal beberapa kilometer sebelum nyampe rumah, tak disangka entah tanpa sadar atau lupa bahwa di depan sudah menghadang polisi tidur yang melintang di tengah jalan. Gedubrak…..! Motor berguncang keras hingga mengakibatkan sebungkus gado-gado yang ane beli di dekat Stasiun Lempuyangan Yogyakarta meloncat dengan hebatnya. Entah kenapa hari itu pengen beli makanan padahal biasanya cukup makan makanan yang ada di rumah. Hmm…mungkin lagi nyidam kali ya. Lho sapa sing mbobot? Kok tambah aneh wae to wong siji iki. Hehehe….,nyidam kan ‘nggak hanya monopoli kaum hawa yang lagi hamil aja. Halah….padune agek kepingin wae. Sing jenenge menungsa ya lumrah wae to nek nduwe kepinginan. Kembali ke cerita! Ciiiiiiiiiiittt………..! pedal rem segera ane injak sambil menoleh ke belakang bermaksud mengambilnya. Terlihat dua motor dari arah yang sama datang namun untungnya sempat menghindar dari barang ane yang jatuh. Fyuuh….! Lega rasanya masih selamat dari gilasan ban sepeda motor. Sewaktu mau membelokkan motor, Bress…..! gilasan dahsyat kali ini tak bisa terelakkan. Makanan yang ane beli cuman sekali-kali waktu itu hancur sudah. Rencana makan sore (karena jarang makan siang) yang akan disantap sesampainya di rumah pupus sudah. Ya sudah, ‘ntar kalo sampe rumah nggak ada makanan, seperti biasa “andalan”-nya dikeluarkan. Hehehe…, apa lagi kalo bukan mie instan. Walaupun semenjak gempa bumi 27 Mei berkardus-kardus mie instan diberikan secara cuma-cuma dan dijadikan “makanan substitusi” selama beberapa bulan namun tetap saja sampe saat ini masih saja dijadikan “senjata pamungkas” kalo ‘nggak ada yang buat dimakan. Alhamdulillah, setelah beberapa saat sampe juga di rumah tepat pukul setengah lima sore. Kebiasaan ane ketika udah nyampe rumah adalah merogoh saku celana untuk mengeluarkan berbagai barang. Innalillahi….! HP Siemens C-60 dengan cassing warna hijau metalik sudah ‘nggak ada lagi di saku celana. Ane berpikir kalo jatuh waktu motor berguncang hebat tadi. Tanpa menggati pakaian, langsung “tarik gas” menuju TKP. Setelah dicari-cari di TKP kok ya tetep ora ana alias tidak juga ditemukan! Mungkin aja udah diambil orang atau malah udah tergilas motor sebagaimana nasib sebungkus gado-gado ane? Dengan tangan hampa kembali ke rumah sambil berharap nomer HP ane masih bisa dihubungi. Benar saja, dengan meminjam HP milik Bapak (Entah kenapa untuk urusan merk HP dan kartu layanan operator seluler semuanya bisa seragam dari ane, bapak sama ibu. Hanya kangmas saja yang mbalela alias beda sendiri tapi sayangnya kita ‘nggak dapet kontrak dari perusahaan. Hehehe…!) ane mencoba menghubungi namun tidak bisa. Ah, mungkin memang udah rusak tergilas-gilas roda-roda motor pikir ane. Selang beberapa saat, ane coba lagi. Kali ini terdengar bunyi “tuuut….tuuut…tuuut…!” (bunyi asli alias tanpa nada sambung yang macem-macem apalagi musik-musikan). Alhamdulillah, berarti HP ane masih selamat tapi masalahnya sekarang udah berada di tangan orang lain. Setelah beberapa saat HP diangkat.
Tanpa basa-basi ane langsung bertanya: “Nyuwun pangapunten, punapa Njenengan nemu HP kula ‘nggih”?
Kemudian dia menjawab: “Wo injih, wau kula nemu wonten mergi. Namung menika senes HP njenengan, HP-nipun sampun risak sakmenika kantun nomeripun”.
Innalillahi…! Memang benar dugaan ane kalau sudah jatuh di jalan kemungkinan besar sudah tergilas ban-ban kendaraan. Ya sudah, diikhlaskan. Sukurnya SIM-card nya masih selamat.
Kemudian ane bertanya lagi: “Lha njenengan dalemipun pundi?”
“Kula Imogiri.”
Tukasnya.
“Imogirinipun pundi?” Timpal ane.
“Kula wonten Wartel sak celakipun pasar Imogiri.” Jawabnya.
“Menawi saged nomer kertunipun badhe kula pendet mbenjang enjang.” Kata ane.
“Menawi badhe mendet malah sak menika mawon” Katanya.
Itulah kurang lebih petikan percakapan ane dengan seseorang mbuh ora weruh sapa wonge. Ane putuskan seketika itu juga untuk mengambil HP walaupun cuman tersisa SIM-card nya saja. Soalnya masih ada pulsa yang lumayan banyak untuk ukuran seorang mahasiswa seperti ane. Dengan masih memakai pakaian yang sama, lagi-lagi harus “tarik gas” memacu sepeda motor seloah berpacu dengan matahari yang akan tenggelam, ane pergi menemui orang “tak dikenal” tersebut. Setelah muter-muter sambil liat-liat di sepanjang pasar Imogiri yang kurang lebih jaraknya sekitar 11 km dari rumah ane akhirnya ketemu juga tempat yang telah dijanjikan untuk bertemu. Masyaallah! Ternyata memang benar kondisinya udah rusak parah karena tergilas ban-ban kendaraan sehingga sudah tidak bisa dipakai lagi. Tinggal SIM-card dengan beberapa puluh ribu pulsa yang nampaknya masih utuh. Sebelum tiba waktu maghrib ane pulang dengan membawa rongsokan. Tak berselang beberapa lama setelah ane berpamitan pulang, tiba waktu maghrib sehingga ane mampir untuk jammaah di sebuah masjid kampung. Tak disangka tak dinyana bertemu dengan anak muda yang ane perkirakan usianya sebaya dengan ane. Subhanalloh, ane lihat celananya udah ‘nggak isbal dengan jenggot yang menghiasi dagunya. Dia pun melihat ane dengan keadan yang serupa dengannya. Sambil tersenyum ia menjulurkan tangannya sambil mengucapkan salam kepada ane. Alhamdulillah, ternyata di sebuah kampung seperti ini ada juga anak ngajinya toh. Tak mat-matke sopo to wong iki, tapi yo tetep wae ora kenal. Insya Allah dia ikhwah ngaji juga walaupun belum sempat tanya-tanya karena sholat jamaah udah hampir dilaksanakan. Akhirnya sebelum isya’ sampe juga dirumah dan alhamdulillah sudah tersedia nasi plus sayur daun lembayung dengan lauk ikan teri. Jadinaya sekarang dapet peribahasa baru, ‘Nggak jadi makan gado-gado, sayur lembayung pun jadi. ‘Nggak jadi makan sore makan malam pun jadi. Walaupun, hari itu ada musibah namun insya Allah ada hikmahnya setidaknya dipertemukan dengan ikhwah yang secara dhohir seorang ahlussunnah.

Monday, August 13, 2007

Kapan Nikah?

Tak seperti biasanya rumah ane yang tenang minggu-minggu ini begitu ramai. Ibu-ibu desa datang ke rumah untuk memasak makanan yang sering diistilahkan dengan rewang. Sementara bapak-bapak menyiapkan tempat beserta uba rampe-nya untuk sebuah perhelatan akbar dalam skala keluarga ane. Beberapa hari sebelumnya dibentuk panitia yang melibatkan sebagian bapak-bapak, tokoh masyarakat dan tentunya para muda-mudi di kampung. Sebagian tamu undangan yang merupakan teman sejawat bapak dan ibu dari rekan-rekan guru datang silih berganti bahkan sebelum hari “H”. Ya, sebuah hajatan pernikahan akan digelar di rumah. Wow! Nikah? Ya Nikah, sebuah kata yang sudah tidak asing lagi di telinga sebagian pemuda sekaligus sebuah kata yang begitu istimewa untuk dibicarakan. Betapa tidak, ia adalah ikatan antara seorang laki-laki dan wanita sehingga menjadi halal perkara-perkara yang sebelumnya diharamkan sekaligus menjadi tonggak dibinanya sebuah keluarga. Adalah kakak ane satu-satunya yang telah Allah subhanahu wata’ala berikan kesempatan dan keluangan untuk melaksanakannya. Wah, kapan nich adiknya bisa menyusul? Pertanyan ini pula yang muncul dari salah seorang temen ane di kampung yang kebetulan dulu temen sekelas waktu SD dengan bahasa Jawa tentunya. Entah serius ato cuma bercanda namun ane jawab sekenanya saja: “Wangune ya kowe dhisik, sesuk yen wis bar kowe agek aku.” Pantasnya ya kamu duluan, ‘ntar kalau sudah kamu baru aku, begitulah kira-kira artinya. Kontan dia menyahut: “Tenan! Tenan! Yen wis bar aku terus kowe! Dengan nada mengancam. Waduh, deg! Kalo beneran dia trus nikah berartiii….ane dong selanjutnya! He..he..he..tapi ane kan ‘nggak menjanjikan kapan waktunya, bisa saja tidak lantas seketika setelah dia terus ane. Yang jelas, wallahu a’lam, jodoh kita masing-masing adalah taqdir Allah dan kapan waktunya kita tidak mengetahui.

Biografi Singkat Al-Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah

Al-Imam Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah
Oleh: Al-Ustadz Zainul Arifin


Nasab dan Kelahiran Beliau
Beliau adalah Abu Abdillah Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub bin Sa’d bin Hariz Az-Zar’i-nisbah kepada negeri Azra’ Ad-Dimasyqi, syamsudin (matahari agama ini), mujtahid mutlak, seorang yang faqih, ahli ushul, ahli tafsir, ulama nahwu, ahli bahasa, seorang yang arif, yang lebih dikenal dengan Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah. Beliau dilahirkan pada tahun 691 H. Dahulu ayahanda beliau adalah pengurus pimpinan madrasah Al-Jauziyah, maka beliaupun dinisbahkan kepadanya sehingga masyhur dengan itu.
Guru-Guru Beliau
Di antaranya adalah Abu Bakr bin Abdi Ad-Da’im, Al-Qadhi Sulaiman, Taqiyyudin ‘Isa Al-Muth’im, Isma’il bin Maktum, Fathimah bintu Jauhar, Asy-Shihab An-Nabulsi dan Al-Hafidz Taqiyyudin Ibnu Taimiyyah dan beliaulah guru beliau yang paling menonjol yang telah memberikan pengaruh yang besar pada diri Ibnu Qoyyim. Di atas manhajnyalah beliau berjalan, dan beliau sangat setia kepada gurunya ini, baik ketika hidup maupun setelah wafatnya. Beliau rela disiksa berkali-kali karena sebab gurunya ini, rela dipenjara bersamanya. Dan tidaklah beliau dibebaskan dari penjara tersebut kecuali setelah wafatnya Ibnu Taimiyyah. Dan beliau sangat memuliakan gurunya tersebut dengan segenap penghormatan yang tinggi.
Murid-Murid Beliau
Murid beliau tidak terhitung banyaknya. Yang paling masyhur adalah Al-Hafidz Ibnu Katsir, pengarang Al-Bidayah wan Nihayah dan Tafsir, sekaligus teman beliau menimba ilmu kepada Al-Hafidz Abdurrahman Ibnu Taimiyyah. Yang lainnya adalah Al-Hafidz Abdurrahman Ibnu Rajab Al-Hambali, Ibnu Abdul Hadi serta Ibnu Abdul Qadir An-Nabulsi. Mereka inilah para pengemban manhaj beliau, penyebar ilmu beliau dan menempuh jalan yang beliAu tempuh dalam kehidupan beliau dan setelah wafat beliau.
Pujian Para Ulama
Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah berkata: “Beliau adalah pakar di bidang tafsir nan tiada tanding. Demikian pula di bidang ilmu ushuluddin. Pada diri beliau puncak pengetahuan kedua disiplin ilmu tersebut. Begitu juga bidang hadist, meliputi makna berikut pemahamannya, beliau paling teliti dalam menarik satu hukum dari sebuah hadist, dalam belum pernah ada yang menyamainya dalam hal itu. Dalam hal fiqh, ushul dan bahasa Arab, beliau memiliki buah karya yang luar biasa banyaknya. Demikian halnya di bidang ilmu mantiq dan sebagainya. Beliau adalah orang yang sangat dalam pengetahuannya tentang ilmu akhlaq, tentang kalam ahli tasawuf, isyarat-isyarat mereka, serta berbagai kesamaran dan ketidakjelasan dari mereka. Tak luput, beliaupun memiliki hasil karya yang sangat banyak di segala bidang ilmu-ilmu tersebut.”
Al-Imam Adz Dzahabi rahimahullah mengatakan dalam Al-Mukhtashar: “Beliau sangat perhatian terhadap hadist, matan berikut perawi-perawinya. Dan beliau memiliki penjelasan yang sangat bagus, sangat terlatih di bidang nahwu dan dasar dari kedua ilmu tersebut. Sungguh beliau telah dipenjara sekian lama karena mengingkari orang-orang yang menempuh perjalanan menuju kuburan Al-Khalil (Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam). Hari-hari beliau dipenuhi berbagai kesibukan dan penyebaran ilmu.”
Al-Qadhi Burhanuddin Az-Zar’i rahimahullah berkata: “Tidak ada seorangpun di bawah langit ini (di masanya-red) yang lebih luas ilmunya dari pada beliau.”
Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Beliau seorang pemberani, luas ilmunya, paling mengerti tentang perselisihan dan pendapat-pendapat salaf.”
Ibadah dan Kezuhudan Beliau
Al-Qadhi Burhanuddin Az-Zar’i rahimahullah berkata: “Beliau sangat sering berhaji. Dan penduduk Makkah menyebut ibadah beliau yang luar biasa dan banyaknya thawaf beliau sebagai sesuatu yang sangat menakjubkan dari diri beliau.”
Ibnu Rajab rahimahullah berkata: “Beliau melaksanakan ibadah, tahajjud, shalat yang sangat panjang sampai pada batas maksimal, senantiasa berdzikir, tenggelam dalam kecintaan, taubat, menghinakan diri, dan luluh lantak di hadapan Allah. Aku belum pernah melihat seseorang yang seperti beliau dalam hal itu. Belum pernah pula menyaksikan orang yang lebih luas ilmunya daripadanya. Tidak pula aku ketahui orang yang paling mengerti tentang Al-Qur’an dan As-Sunnah dan hakekat-hakekat iman selain beliau. Tidak berarti bahwa beliau itu ma’shum, tapi aku belum pernah melihat yang semisal beliau dalam arti yang demikian.”
Karya-Karya Beliau
Hasil karya beliau hampir mencapai seratus buah dalam berbagai bidang ilmu. Dan itu merupakan bukti yang cukup tentang ilmu dan kesungguhan beliau. Diantara karya beliau adalah kitab I’lamul Muwaqqi’in, membahas tentang fiqh, ushulnya dan tujuan-tujuan syari’ah. Yang kedua adalah kitab Ash-Shawa’iqul Mursalah membahas ilmu ushuluddin. Kedua kitab tersebut bisa menjadi cermin bagi kitab-kitab beliau yang lainnya.
Wafat Beliau
Beliau wafat pada malam Kamis, 13 Rajab 752 H, dan dishalatkan keesokan harinya selepas dzuhur di Jami’ Jaraah. Pemakaman beliau di pekuburan Al-Bab Ash-Shaghir dihadiri jutaan umat, dan beliau ditampakkan dalam mimpi baik yang sangat banyak. Dunia Islam pun kehilangan tokoh yang sangat alim, yang menyertai umat ini dalam suka dan duka, yang mengemban amanah serta menunaikannya. Semoga Allah merahmati beliau, melimpahkan pahala-Nya yang besar kepada beliau di kedua negeri (dunia dan akhirat). Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.
(Diringkas dari Al-Fawa’id, hal. 3 – 6 dan Ighatsatul Lahafan, hal. 3 – 4)
Sumber: Majalah Asy-Syari’ah Vol.II/No.20/1426 H/2005, hal. 68 – 69.

Biografi Singkat Al-Imam Hasan Al-Bashri

Al-Hasan Al-Bashri Syaikhul Bashrah
Oleh: Al-Ustadz Zainul Arifin

Al-Hasan bin Yasar-dikatakan juga Al-Hasan bin Abil Hasan- Abu Sa’id Al-Bashri. Beliau dilahirkan pada tahun terakhir dari masa kekhalifahan ‘Umar bin Al-Khaththab (tahun 21 H). Asal keluarganya sebenarnya dari Sabi Misan, suatu desa yang terletak antara Bashrah dan Wasith. Namun kemudian mereka pindah ke Madinah.
Ayah Al-Hasan adalah budak milik Zaid bin Tsabit Al-Anshari radhiallahu ‘anhu dan ibinya adalah budak milik Ummu Salamah radhiallahu ‘anha, istri Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Ummu Salamah radhiallahu ‘anha sering mengutus budaknya tersebut untuk suatu keperluan sehingga beliaulah yang sibuk menyusui Al-Hasan Al-Bashri yang waktu itu masih kecil. Maka masyarakat waktu itu pun menduga bahwa ilmu dan hikamah yang diberikan kepada Al-Hasan disebabkan barakah susuan tersebut.
Al-Hasan tumbuh di Madinah dan bertemu dengan para shahabat sera mendengar ilmu dari mereka. Beliau adalah orang yang terkemuka dalam keilmuan, sehingga digelari dengan “Syaikhul Bashrah”.
Asy-Sya’bi berkata pada seorang yang hendak ke Bashrah, “Jika Anda melihat seorang yang tertampan dari penduduk Bashrah dan yang paling disegani oleh mereka maka dialah Al-Hasan (Al-Bashri), maka sampaikan salamku kepadanya.”
Al-Hasan juga dikenal sebagai seorang yang sangat pemberani. Dan dulu jika Al-Muhallab bin Abi Shafrah hendak memerangi orang-orang Musyrik, maka beliaulah yang dikedepankan.
Malik bin Dinar bercerita tentang orang-orang yang memiliki pengaruh di hati-hati (manusia-pent): “Iya demi Allah, sungguh kami melihat mereka itu adalah Al-Hasan, Sa’id bin Jubair, dan orang-orang yang seperti mereka. Allah telah menghidupkan sejumlah baesar manusia dengan sebab perkataan salah seorang dari mereka.”
Al-A’masy berkata: “Dulu apabila Al-Hasan disebut di sisi Abu Ja’far bin ‘Ali bin Al-Husain-yakni Al-Baqir-beliaupun berkata: “Dialah (Al-Hasan) orang yang ucapannya menyerupai perkataan para nabi”.
Abu Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari berkata:”Aku belum pernah meliahat seseorang yang menyerupai para shahabat Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam selain beliau (Al-Hasan).”
Al-Hasan adalah sosok tabi’in yang senantiasa bersedih karena banyaknya mengingat akhirat, akan tetapi tidaklah hal ini sampai membawa beliau kepada akhlak orang-orang a’jam (asing) sebagaimana yang tersebar di zamannya.
Beliau adalah orang yang sederhana dalam hal makanan, dan mengenakan pakaian yang mudah bagi beliau. Beliau pernah ditanya pakaian yang paling disukainya, maka ia menjawab : Yang paling tebal, paling kasar (tidak licin) dan paling rendah menurut manusia.” Namun bukan berarti beliau membenarkan perbuatan sebagian ahlul ibadah dalam cara berpakaian mereka yang buruk, bahkan Al-Hasan pernah mengingkarinya. Sungguh pernah disebutkan kepadanya tentang orang-orang yang memaki bulu shuf (wol, bulu domba) maka beliau berkata: Kenapa mereka itu? Mudah-mudahan sebagian mereka kehilangan sebagian yang lain…mereka menyembunyikan kesombongan di dalam hati-hati mereka.”
Beliau menghafal Al-Qur’an pada usia 12 tahun, dan tidaklah beliau berpindah dari satu surat ke surat yang lainnya kecuali setelah mengetahui tafsir dan sebab turunnya surat tersebut. Beliau tidak mengurus satu dirhampun dalam perdagangan, bukan pula sebagai sekutu seorang penguasa. Tidakalah beliau memerintahkan sesuatu sehingga telah dilaksanakan dan tidak pula melarang dari sesuatu sampai telah meninggalkannya. Beliau wafat pada malam Jum’at, awal bulan Rajab pada tahun 110 H, dan beliau hidup sekitar 88 tahun sebagaiman telah dikatakan oleh putra beliau.
Diringkas dari Mawa’izh lil Imam Al-Hasan Al-Basri, Salih Ahmad Asy-Syami, hal. 9 – 18.
Sumber: Majalah Asy-Syari’ah Vol.I/No.11/1425 H/2004, hal. 56.

Friday, August 3, 2007

Strategi Belajar Ilmu Dien

Saudaraku, ilmu agama merupakan bahan baku kebahagiaan. Tidak ada kebahagiaan tanpa ilmu. Oleh sebab itu, setiap usaha untuk menggapai kebahagiaan yang ditempuh tanpa bimbingan ilmu pasti akan mengalami kebuntuan. Tidak percaya?..Lihatlah orang-orang yang menganggap kebahagiaan di bangun di atas pemuasan hawa nafsu kebinatangan. Mereka habiskan energi dan waktu mereka untuk mengejar kenikmatan sementara yang pada akhirnya berujung dengan hukuman dan siksa. Duhai, alangkah malang nasib mereka...

Tidakkah kita ingat bagaimana kaum Nabi Luth yang durhaka kepada Nabi-Nya. Mereka campakkan fithrah yang ada di dalam diri mereka dan mereka justru menggantinya dengan pelanggaran dan dosa yang belum pernah dikerjakan oleh umat sebelum mereka. Maka dari itu Allah timpakan kepada mereka siksa yang berlipat ganda... Allah sudah mengingatkan kepada kita; fakullan akhadzna bi dzanbih. Setiap kelompok yang durhaka itu kami hukum karena dosanya... diantara mereka ada yang dihujani dengan batu, ada yang mati karenma lengkingan suara yang memekakkan telinga, ada yang dibenamkan di dalam perut bumi dan adapula yang binasa dengan cara ditenggelamkan di dalam samudera... Itulah akibat dari kebodohan mereka. Bodoh tentang hakikat kebahagiaan yang sejati...

Oleh karena itu, kita sangat bergembira dengan kembali tumbuhnya semangat mempelajari ilmu agama yang menghiasi wajah generasi muda. Mereka kuliah tapi juga mengaji. Mereka kuliah tapi juga berdakwah. Mereka kuliah tapi juga bisa membaca kitab para ulama. Mereka kuliah tapi juga memakmurkan masjid dengan ilmu dan akhlaq mulia. Namun, sayang ada sebagian pemuda yang tidak mengerti bagaimanakah cara yang tepat untuk mereka agar bisa meniti jejak para ulama. Maka wajar apabila sebagian pemuda terjebak dalam gerakan-gerakan dakwah yang menyimpang dari jalan para ulama. Mereka sibuk, mereka lelah...akan tetapi sayang jalan yang mereka tempuh bukan jalan lurus. Sehingga waktu mereka terbuang percuma...lama berkegiatan namun tidak merasakan peningkatan ilmu agama. Lama mengaji namun tidak ada perubahan apa-apa...wallaahul musta'aan.

Maka dari itu, sudah saatnya kita kembali mengkaji bagaimanakah cara yang tepat bagi kita untuk tetap bisa menuntut ilmu dan mengamalkannya di tengah situasi berkecamuknya fitnah, godaan dan beraneka ragam penyimpangan yang mewarnai kehidupan masyarakat kita... Allah ta'ala berfirman yang artinya, " Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatau kaum sampai mereka mau mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri." (QS. Ar-Ra'd: 11). Rasul juga bersabda, "Barang siapa yang dikehendaki menjadi baik oleh Allah maka Allah akan pahamkan dia dalam urusan agama." (HR. Bukhari dan Muslim) [Abu Muslih]

diambil dari pamflet kajian "Kiat Sukses Menuntut Ilmu Syar'i Al-Manhajiyah Fi Tholabul 'Ilmi Syar'i"